Apa yang akan dilakukan oleh kakek tua
itu? Dia membawa peralatan seperti tukang bangunan saja. Palu besar dan linggis
ulir. Degupan jantungku semakin tak beraturan. Kuberanikan mengintip lagi ke
arah kakek tua itu. Hilang? Dia tidak ada di sana? Ke mana kakek tua itu pergi?
Bajuku seketika basah kuyup. Padahal udara dingin. Evan masih lelap mendengkur.
Apa yang harus kulakukan?
“Evan! Bangun! Evan! Bangun Evan!” seruku
membangunkan paksa Evan yang tertidur sangat pulas dengan menggoyang-goyangkan
tubuhnya keras. “Dasar anak ini nyenyak sekali tidurnya!” ucapku jengkel sambil
mendudukkan paksa Evan.
“Ada apa ya nak?” kata kakek tua itu.
Suara serak kakek tua itu berasal dari
arah belakangku yang belum berhasil membangunkan Evan. Berarti kakek tua itu
sudah berdiri di depan pintu kamar kami. Nafasku ngos-ngosan seperti orang
sedang melarikan diri karena ketakutan.
“Hmm, tidak apa-apa kok, Kek,” jawabku
kaku dengan mengulum bibirku dan pandanganku tidak fokus.
“Iya nih, kenapa Rio? Gangguin orang
tidur saja,” sahut Evan dengan mengerjapkan matanya beberapa kali dan bibirnya
dimonyongkan ke depan.
“Ya sudah, kalau begitu silakan istirahat
kembali. Kakek baru saja membetulkan dinding yang berlubang dan menggantinya
dengan papan baru,” jelas kakek menjawab langsung penasaranku.
“Hehe, iya kek,” ucapku sambil mengangguk
dan meringis.
Kakek tua tersebut menutup pintu kamar
dan terdengar berjalan meninggalkan kami. Benarkah apa yang dikatakan kakek
tadi? Sepertinya rasa takutku hilang. Aku justru semakin penasaran. Kupastikan
Evan sudah kembali tidur dengan pulas dan mengorok. Kukenakan jaket tebalku dan
mengambil senter. Pelan-pelan kubuka pintu kamar dan kuedarkan pandangku dengan
sangat hati-hati.
Aku berhasil sampai di depan ruangan yang
penuh dengan patung lilin. Bergegas masuk setelah kupastikan aman. Segera
kucari patung lilin keempat temanku, yakni Alvin, Rico, Firman, dan Ryan. Hah! Tidak ada!? Ke mana patung lilin yang
mirip mereka? Aku berputar-putar mengelilingi ruangan dan tidak menemukannya.
Terdengar suara langkah kaki mendekati
ruangan patung lilin. Oh, tidak. Aku harus sembunyi di mana? Suara langkah kaki
itu semakin dekat. Di seberang patung petani membawa cangkul ada sebuah meja
dari kayu. Sepertinya tempat untuk membentuk bagian-bagian patung lilin juga.
Tepat suara langkah kaki tersebut sampai di depan pintu, kusembunyikan tubuhku
di bawah meja kayu sekalipun dengan sedikit berguling-guling di lantai.
Seseorang membawa kapak di tangan
kanannya dan mengenakan syal kain di lehernya. Berdiri tegak. Itu jelas bukan
kakek tua, tapi seorang pemuda. Wajahnya agak gelap tak jelas terlihat, karena
remang-remang cahaya dalam ruangan ini.
Pranggggg!
Terdengar suara kaca jendela pecah
mengagetkanku, begitu pula orang tersebut langsung menoleh ke samping jendela.
Sepertinya terjadi sesuatu. Dia pun berlari ke arah suara, sedangkan aku
bergegas keluar dari bawah meja dan berdiri di balik tembok ruangan lilin yang
dekat dengan pintu.
Terlihat
orang itu berdiri menghadap samping di depan jendela kayu yang kacanya pecah.
Sepertinya terkena lemparan batu atau sejenisnya. Siapa orang itu? Melengkapi
sudah rasa penasaranku. Tiba-tiba cahaya kilat begitu terang seperti blitz foto
di tengah kegelapan, sekejap saja membuat sekeliling menjadi terang. Walaupun
sangat sebentar saja seperti kedipan mata. Aku melihat wajah orang itu. Evan?!
Komentar
Posting Komentar