Tak Ada Gading yang Tak Retak


Oleh : Raddy Ibnu Jihad*

Benar pepatah tersebut. Tak gading yang tak retak. Manusia bukan makhluk suci yang selama perjalanan hidupnya akan selalu melakukan kebaikan. Sehebat apapun sosok sang makhluk, ia tetaplah makhluk. Tak akan pernah berubah statusnya menjadi sang Khalik.

Astaghfirullah ....

Rasa sakit hati, kecewa, ataupun sedih juga pasti ikut menyelinap di hati manusia. Apa daya seorang makhluk tanpa naungan-Nya. Sekali lagi kita itu makhluk lemah bukan superior, dengan segenap keinginan yang apapun itu pasti mampu terpenuhi. Ah, Itulah manusia. Inginnya selalu dan selalu menjadi yang ter... dibanding lainnya. Ya, itulah manusia makhluk yang sebenarnya begitu amat lemah.

Astaghfirullah ....

Saling mengingatkan pada saudaranya. Itulah selayaknya yang harus kita lakukan. Bukan malah sakit hati atau merasa benar sendiri. Apa bedanya kita dengan bangsa jahiliyah masa lalu bila kita tahu kebenaran, namun kita sendiri pula orang pertama yang melanggarnya. Ah, itulah manusia. Inginnya selalu menjadi yang ter... dibanding lainnya. Ya, itulah manusia makhluk yang sebenarnya amat begitu lemah.



Astaghfirullah ....

Istighfar menenggelamkan kembali ego panas yang membara. Nyala api keburukan itu harus dipadamkan. Tak patut jika seorang makhluk juga berharap punya sifat seperti sang Khalik yaitu merasa berkuasa. Manusia tetaplah manusia ia selalu butuh orang lain. Kita tak akan pernah mam[pu untuk hidup tanpa yang lain. Kesendirian itu adalah sebuah permasalahan yang menyelimuti masalah hidup.

Makhluk sosial. Ingat julukan tersebut. Benar adanya, sosok makhluk sosial akan selalu saling ketergantungan dengan yang lain. Bukan untuk menyakiti, saling menindas, atau bahkan saling mengasai. Melainkan saling menutupi, saling menambahi, dan saling membantu saat-saat kita membutuhkan yang lain. Ah, itulah manusia. Inginnya selalu menjadi yang ter... dibanding lainnya. Ya, itulah manusia makhluk yang sebenarnya amat begitu lemah.

Astaghfirullah ....

Dalam bercanda pun kita harus ingat etika. Antara seorang ayah dengan putranya. Guru dengan muridnya. Nenek dengan cucunya. Atasan dengan bawahannya. Maupun dengan siapapun yang baru kita kenal. Ada adab serta sopan santun yang terkayuh. Ada norma dan jajarannya yang terpampang. Bukan untuk mengekang sebuah amal, tapi untuk menata jauh lebih baik. Bukan untuk melarang, tapi untuk menyelamatkan dari kemarabahayaan. Bukan untuk menjegal aktivitas kita, tapi untuk membawa kita ke jalan penuh cahaya.  Ah, itulah manusia. Inginnya selalu menjadi yang ter... dibanding lainnya. Ya, itulah manusia makhluk yang sebenarnya amat begitu lemah.

*Penulis merupakan sekretaris FLP Cabang Kota Semarang, Motivator di Cahaya Pena-Best Mover Generation (CP-BMG)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terus Belajar

Open Pre Order Buku Antologi Ketiga

MENERJEMAHKAN BAHASA AKAL DAN HATI